Jumat, 04 Mei 2012

heart in D minor


Malam ini entah malam Sabtu yang keberapa. Datang ke kafe ini seminggu sekali sudah jadi agenda rutinku beberapa bulan terakhir.

Berdua dengan kakak lelakiku yang selalu setia menemani kemana aku pergi, kami selalu duduk meja yang sama setiap minggunya. Kata kakakku dari sinilah panggung live music paling jelas telihat. Aku tinggal mengarahkan pandangan lurus ke depan, dan di sanalah kamu berada, memetik gitarmu, memainkan lagu-lagu indah yang aku tidak pernah tahu judulnya.

Kami selalu datang beberapa menit sebelum pertunjukanmu mulai, agar aku tidak kelewatan satu lagupun. Sambil menunggumu mulai bermain, aku memesan minuman. Selalu memesan minuman yang sama, tapi tidak pernah memesan makanan. Konsentrasiku mendengarkan permainanmu pasti akan buyar sementara aku bersusah payah menyendoki makanan keparat di depanku.

Terdengar tepuk tangan di sana sini pertanda kamu mulai naik ke panggung kecil di depan. Setelah berbasa basi sejenak menyapa pengunjung, kamu mulai memetik gitar. Dan tepat saat itu juga dimulailah momen yang bagiku sangat magis. Mendengarkan suara gitarmu entah kenapa bisa membuatku sangat, sangat tenang. Damai sekali. Padahal papa juga sering memainkan lagu dengan piano untukku, tapi rasanya sungguh berbeda. Mendengarkanmu bermain gitar aku merasa seperti tengah bertemu kawan lama yang lama tidak berjumpa. Seperti merasakan hujan jatuh di kepalaku setelah terik seharian. Seperti kembali ke rumah setelah beberapa minggu bepergian. 

Seperti pulang. Nyaman.

Lagu terakhir yang kamu mainkan malam ini belum pernah aku dengar sebelumnya. Mungkin kamu baru pertama kali memainkannya di sini. Berapa lama kamu mempelajarinya? Susahkah? Ah sungguh aku sebenarnya ingin tahu banyak tentangmu. Tapi mendengarkanmu memainkannya saja sudah cukup, tak perlulah aku tahu apa-apa lagi. "What you don't know won't hurt you", begitu kata pepatah yang pernah kudengar.

Setelah lagu berakhir, terdengar tepuk tangan panjang. Aku juga ikut bertepuk tangan dengan penuh semangat. Lagu barusan memang indah sekali. Rasanya aku sampai ingin menangis mendengarnya, seperti ada yang tercekat di tenggorokanku. Ha ha ha, aku memang melankolis. Memalukan.

Aku dan kakakku biasanya akan langsung pulang begitu lagu terakhirmu selesai dimainkan, tapi malam ini rupanya memang bukan malam 'biasa'.

"Mas ke toilet bentar ya. Kamu duduk aja ngga usah ke mana2"
Lalu aku pun menunggu dengan was-was. Agak takut. Aku takut sendirian.

"Itu pacar kamu?" sebuah suara tiba-tiba menyapaku. Aku diam saja.kakakku selalu mengingatkanku untuk tidak berbicara pada orang asing. Tapi bagiku kamu bukan orang asing.
"Hah?" Ekspresiku pasti persis seperti orang tolol. Sial.
"Aku liat kamu dateng tiap kali aku main. Sama cowo yang sama di meja yang sama."
"Mmm iya"
"Iya dia pacar kamu? Tapi kok tiap dateng diem2an doank"
"Oh, maksudnya bukan. Dia kakakku." Bisa kurasakan wajahku merah padam. Sial. Sial. Sial. Kenapa musti salting sih?
"Oooh"

Lalu jeda. 
Lama. 
Mungkin hanya beberapa detik tapi bagiku terasa sangat lamaaaaaaaaaaaa...
Kenapa sih aku? Padahal ini adalah saat yg sangat aku nantikan. Saat aku akhirnya bisa berbincang denganmu. Tapi di bayanganku obrolan kita bisa mengalir begitu saja. Bukan seperti ini. Bibirku kelu, otak beku, aku seperti terpaku, bahkan berkedip pun sepertinya tidak.

"Lagu yang terakhir judulnya apa? bagus" akhirnya aku memberanikan diri membuka suara.
"Ada deeeeh" katamu dengan nada menggoda, berusaha mencairkan suasanan yang kaku.
"Diiih pelit amat" entah bagaimana kecanggunganku hilang seketika. Kamu memang orang yang menyenangkan, tepat seperti khayalanku.
"Mau tau aja apa mau tau banget?"
"Hahahahaha" aku tertawa mendengar gurauanmu
"Hehehe malah ketawa." Kamu diam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Jalan sama aku dulu baru aku kasih tau"
"Hah?"
"Iya, ngedate dulu sama aku, nanti aku kasih tau judulnya"

Aku terdiam. Aku tahu seharusnya aku senang mendengar ajakanmu, tapi....

"Kok malah diem? Oiyaaa, malah belum kenalan kita. Namaku Reno."

Aku tetap diam. Bingung harus bersikap seperti apa.

"Sombong banget, masa jabatan tangan aja ngga mau."

Aku menghela nafas. Sejak awal kamu menyapa aku tahu saat ini pasti akan datang. Aku berpikir sejenak, tapi akhirnya kuputuskan mengulurkan tanganku, "Kania"

Jeda beberapa detik.

"Hei, bercanda ya? Tanganku di sini"

Tepat seperti dugaanku, aku menyodorkan tangan ke arah yang salah.

Yang aku tahu kemudian, kakakku datang, memapahku untuk berdiri dan menuntunku berjalan meninggalkan kafe. Aku tidak sanggup membayangkan bagaimana wajahmu saat itu. Pun wajahku sendiri.

Aku malu sekali.
Ah, tidak. Aku tidak boleh menangis.

***

"Semalem mas ke sana" 
Sudah 3 minggu aku tidak pernah ke sana lagi. Rasanya terlalu sakit untuk kembali.
"Dia titip salam"
Aku diam, memandang ke jendela. Atau mungkin sebenarnya aku memandangi dinding karena aku tidak pernah tahu arah jendela kamarku berada.

"Sama titip sesuatu."
Aku masih diam.

"CD"
Beberapa detik setelah kakakku mengucapkannya, di kamarku terdengar petikan gitarnya.





Lagu yang terakhir kali dia mainkan tempo hari.

Dan aku pun mengalami moment magis itu lagi. Tapi kali ini bukan tenang yang aku rasakan. 
Sakit. 
Dadaku seperti ditekan.
Sakit sekali rasanya. 
Sakit sampai ulu hati.

"Ada suratnya. Mau Mas bacain?"
Aku diam beberapa saat. Tapi kemudian mengangguk sambil menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Berharap dengan begitu airmataku urung untuk turun.

"Halo Kania, ini judulnya River Flows in You. Kapan ke kafe lagi? Reno."

Lalu aku menangis sejadi-jadinya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar