Sabtu, 25 Februari 2012

pledoi

baik tentang saya, tentang dia,
pun tentang kami berdua,
saya tidak berusaha mencari pembenaran atas segalanya


jika memang kesalahan ada pada saya,
sungguh tidak lain karena saya sama


seperti anda semua:



manusia.

  

Sekian.





once he said, "mereka bukan hakim, dan kita bukan terdakwa"

Senin, 13 Februari 2012

a destiny wanderer





"Pengembara"

Itulah satu kata yg selalu dia gunakan untuk mendeskripsikan tentang dirinya. Mengembarai apa aku juga kurang paham, karena setauku dia tidak pernah pergi kemanapun selain sesekali berlibur ke luar kota. Tapi yang jelas, kata itu yang selalu dia pilih untuk menjawab pertanyaan berjenis "pilih satu kata yang paling menggambarkan dirimu". Kata itu pula yang dia gunakan untuk mengisi kolom "About Me" di akun jejaring sosialnya. Tapi maksudnya apa, sungguh aku tidak pernah tahu. Sampai hari ini.

"Aku pengembara yang mencari jalan pulang ke rumah" jelasnya saat aku menanyakan maksud diksi itu. Aku, yang tidak punya setetespun darah sastra yang mengalir di tubuhku, hanya bisa diam mendengarkannya berfilosofi tentang apa yang dia sebut 'rumah', dan tentang keinginan terbesarnya dalam hidup, yakni menemukan 'rumah' itu.

"Kalau kamu, apa keinginan terbesarmu?" tanyanya usai merampungkan penjelasan panjang lebar nan filosofis tentang per'rumah'an. Aku tidak langsung menjawab, melainkan menatap matanya lekat2. Lama. Dia salah tingkah, membuang pandangan sambil membenarkan anak rambut yang jatuh di keningnya.

"Aku mau nemenin kamu mengembara mencari jalan pulang ke rumah" Dia tampak kaget mendengar jawabanku, dan ganti menatapku dengan pandangan ah-masa-sih-yang-bener-kamu.

"Boleh?" tanyaku kemudian. 

Yang dijawab dengan anggukan kecil dari wajahnya yang memerah.

***
Pertanyaanku 6 bulan kemudian dia jawab dengan gelengan kepala. Tidak, aku bahkan belum sempat menanyakan apa2. Aku baru membuka kotak kecil yang aku simpan di sakuku sejak seminggu lalu. menunggu waktu yang tepat dan keberanian yang cukup untuk mengeluarkannya.

"Maaf, tapi apapun yang kamu minta kali ini, aku ngga bisa"
"Kenapa?"
"Kamu kan tau, aku ga bisa terikat, aku ini pengemba..."
"AKU TAU!" aku memotong kalimatnya, "Udah ratusan bahkan ribuan kali kamu bilang kamu pengembara bla bla bla nyari jalan pulang bla bla bla...aku tau...tapi sampai kapan? kamu mau nyarinya sampai kapan?"
"Sampai aku nemu..."
"Nemu apa?"
"Rumah..."

Jawaban terakhir itu membuatku enggan mendebatnya lagi. Yang bisa aku tangkap dengan telinga awam ini dari penjelasannya tentang 'rumah' tempo hari adalah, dia mencari tempat, orang, atau keadaan yang bisa membuatnya nyaman, membuatnya merasa 'pulang'. Dan rasanya aku cukup percaya diri menyatakan bahwa aku bisa menjadi semua yang dia cari dalam pengembaraannya. Tapi dari jawaban terakhirnya tadi, aku sadar ternyata aku salah. Entah 'rumah' seperti apa yg dia cari, yang jelas itu bukan aku.

Aku berlalu meninggalkannya. Berharap dia akan mengejar atau memanggil namaku, meminta untuk kembali, mengatakan bahwa dia berubah pikiran.....

Tapi tak satupun dia lakukan.

Pengembara itu tetap duduk diam.

***

Sebulan terakhir aku tidak merasakan apa-apa selain hampa. Kosong. Hitam putih tanpa warna. Selongsong raga tanpa jiwa. Aku kehilangan segalanya. Lelucon-leluconnya, filosofi2 yang selalu sulit kupahami, umpatan-umpatannya tentang apapun yang tidak dia suka, keluh-kesahnya tentang hidup dan pekerjaan. Dan yang lebih penting dari semua itu, aku kehilangan semangat hidupku.

Setelah menimbang beberapa detik, akhirnya  aku mengambil ponsel, mencari namanya di daftar kontakku dan mengetik satu kalimat pendek.

Sent.

***

Dua jam setelah mengirim pesan singkat itu aku masih menunggu balasan darinya.

Tidak ada.

***

Pukul 11.11 malam bel rumahku berdering. Aku beranjak dari sofaku dengan enggan, sambil menggerutu tentang orang tidak tau sopan santun yang bertamu selarut ini. Perlahan aku membuka pintu dan terkejut mendapatinya berdiri di depan. Bisa kulihat matanya sedikit sembab.

"Handphoneku tadi mati terus baru dinyalain waktu udah sampe rumah dan udah malem banget terus baru baca sms kamu terus..." dia tidak melanjutkan kata-katanya.

"Kamu nulis apa tadi?" tanyanya setelah terdiam beberapa detik.

"Katanya udah baca.."

"Maunya denger langsung" 

Aku menarik nafas sejenak, menatapnya dalam2. "Home, is where the heart is" ujarku sambil tersenyum.

Dia balas tersenyum sambil mengusap airmatanya yang terjatuh, kemudian memelukku dan berkata:

"I'm home then...."



Puisi @Dear_Connie

Kisah di Atas Jemuran

Mungkin kita adalah
sepasang pakaian:
Kamu atasannya,
dan aku bawahannya.

Kamu dijemur di sudut kiri,
aku di sudut kanan.
Kita saling melirik,
tapi belum pernah bertemu.

Tapi sebenarnya kita sepasang.

Tunggu.
Mari kita tunggu
sampai kita berdua
sama-sama kering dari luka lama.

Lalu kita berdua akan bertemu
berbagi suatu hari bersama.
Ya, bagiku sehari itu cukup.
Asal kita berdua saja di hari itu.

Kamu.
Aku.
Dalam satu tubuh.
Saling melengkapi.

Sepasang.


puisi ini saya temukan di tumblr (wajib mampir!) punya @Dear_Connie, salah satu akun twitter yg saya follow
salah satu puisi terMAKDEG yang pernah saya baca :'D

duh, seandainya saya sepandai itu bermain kata2
pasti saya pilih nulis buku dan kemudian resign dari pekerjaan penuh ketidakjelasan ini #curcoldetected
:D