Jumat, 13 September 2013

Cinta Sebatang Rokok

Mau kuceritakan tentang cinta?

Cinta itu seperti rokok. Awalnya kamu iseng mencoba sebatang saja, dan lalu kecanduan tanpa tahu kenapa.

Cinta itu seperti rokok. Semakin dihisap semakin mematikan. Kamu tahu dia akan membunuhmu pelan-pelan, tapi peduli setan! Satu slop pun sanggup kamu habiskan.

Cinta itu seperti rokok. Kamu terbiasa pada satu merk saja, tapi tetap sesekali menghisap merk lain untuk coba-coba.

Cinta itu seperti rokok. Apapun hal buruk yang orang ucapkan tentang keduanya kamu tidak lagi peduli. Karena terkadang mereka memang tidak selalu bisa memahami betapa sulitnya berhenti merokok, apalagi berhenti mencintai.










Mau kuceritakan tentang rindu?
Sebentar, 
aku merokok sebatang dulu.

Kamis, 12 September 2013

Pure Shores

"Terima kasih, Bu"

Aku kembali masuk ke mobil dan melanjutkan menyetir sendirian. Menurut ibu di warung tadi, tempat yang kutuju masih cukup jauh, tapi arahku sudah benar. Sengaja tidak kuputar musik apapun di dalam mobil. Yang paling kubutuhkan saat ini adalah ketenangan. Itu juga alasan kenapa aku memilih pergi tanpa mengajak siapapun, padahal tersesat adalah bakat alamiku. Tapi kali ini aku butuh sendirian. Sangat butuh. 

Radio mobil sengaja kumatikan, semua telepon genggam sudah dinonaktifkan. Namun tanpa bebunyian pun aku merasa sangat ramai di sini, di dalam kepalaku lebih tepatnya. Suaraku sendiri terus menggema, tak henti berbicara pada entah siapa. Bermacam masalah dan pikiran seperti berkecamuk, berebutan meminta untuk terlebih dulu dipecahkan. Berbagai ingatan berputar tidak beraturan bagai film beralur maju mundur. Dan akulah aktris yang hingga kini masih tidak tahu sama sekali bagaimana akhir dari filmku sendiri.

Kusut.

Ah, ini tikungan yang tadi disebut-sebut oleh si ibu.

Aku menepikan mobilku di pinggir sebuah jembatan. Terpana untuk beberapa detik melihat pemandangan di seberang. Hamparan pasir putih yang beradu dengan biru lautan. Aku merasa....entah apa. Damai. Tenang. Kosong. Aku hanya ingin menumpahkan semua, menuntaskan niat dan satu-satunya alasanku jauh-jauh datang kemari.

AAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!









Lega.






Rabu, 11 September 2013

Nak, Jangan Lekas Besar

Nak, jangan lekas besar
Dunia orang dewasa itu kejam dan brutal
Di dunia kami yang berharga hanya uang dan jabatan
Bukan lagi koleksi boneka atau mobil-mobilan

Nak, jangan lekas besar
Saat dewasa nanti kamu akan jarang bercengkerama dengan teman-teman
Karena mereka masing-masing sibuk berkutat dengan telepon genggam

Nak, jangan lekas besar
Saat kau dewasa tak ada lagi kesempatan bermain petak umpet atau layangan
Waktumu akan habis untuk bekerja seharian
Bahkan kadang masih harus lembur sampai malam

Nak, jangan lekas besar dulu
Nikmatilah sepuasnya masamu
Masa dimana masalah terpelik yang mungkin kau alami
Hanyalah memilih krayon warna apa untuk mewarnai

#PeopleAroundUs #day1

Jumat, 06 September 2013

dua kopi kotak siap minum

Sarapan kita pagi ini adalah sebungkus besar keripik kentang rasa sapi panggang dan dua kopi kotak siap minum. Milikku warna biru, milikmu kotaknya warna ungu.

Mungkin yang kita minum pagi ini hanya dua kotak siap minum saja. Tapi kelak akan kuseduhkan untukmu kopi sesungguhnya. Kopi yang dibuat dengan coffee maker di dapur rumah kita. Setiap pagi akan kusiapkan dua...ah tidak, cukup secangkir saja.

Untukmu.

Aku cukup mencicipi sedikit sisa yang masih menempel di bibirmu.


Jumat, 10 Mei 2013

Kisah Pembunuh Bayaran



Mereka pembunuh bayaran.

Mereka berdua hidup dari kematian orang-orang yang bahkan mereka tidak ingat lagi nama-namanya. Ya, mereka hanya berdua, tapi nyawa yang teregang sudah tidak terhitung jumlahnya. Korban mereka beragam, tapi sebagian besar adalah orang-orang yang cukup berpengaruh dan punya jabatan. Masih ingat politisi yang tempo hari tewas dalam kecelakaan lalu lintas? Bukan, itu bukan kecelakaan. Salah satu ciri 'hasil karya' mereka adalah membuat korban seakan meninggal dengan ‘wajar’.

Malam ini sama seperti malam-malam lain yang mereka punya. Berkumpul di sebuah tempat terpencil, kali ini adalah sebuah warnet tak bernama di sebuah gang sempit ibukota, untuk membicarakan rencana pembunuhan selanjutnya.
“Pekerjaan kali ini terlalu mudah. Kita hanya perlu menyamar sebagai perawat rumah sakit, mencabut selang-selang di tubuhnya. Tamat.” Kata lelaki pertama.
“Sungguh tidak menantang. Lagipula kenapa harus susah-susah membayar kita untuk membunuh, toh sebentar lagi menteri renta itu mampus digerogoti penyakitnya.” Lelaki kedua menimpali.
“Wakil menteri sudah sangat tidak sabar menggantikan posisi si tua bangka. Kau sendiri dengar berapa bayaran yang akan dia berikan un....”

BRUKK!!!

Mereka terkesiap mendengar suara dari bilik sebelah.
“Kau bilang warnet ini kosong, brengsek?!” Lelaki kedua memaki dalam bisikan.
“Mana kutahu akan ada yang datang?!”

Suara berisik tadi sudah tidak terdengar, berganti dengan suara langkah kaki menjauh diikuti suara pintu warnet yang dibuka, dan kemudian menutup kembali dengan sendirinya.

“Menurutmu apakah dia mendengarnya?”
“Menurutmu apakah suaramu yang seperti toa itu tidak akan terdengar dari radius kurang dari 100 meter?” Lelaki kedua menaikkan intonasi, geram pada rekannya sendiri.
“Menurutmu kita perlu menghabisinya?”
“Menurutmu kita perlu menunggu siapapun-orang-di-bilik-sebelah-tadi menyebarluaskan apa yang barusan dia dengar?” Lelaki kedua setengah menyeret lelaki pertama keluar dari bilik mereka, membayar biaya sewa warnet yang tidak sampai satu jam digunakan dan bergegas menuju mobil merah butut merah yang terparkir di depan gang.

Tidak sampai 5 menit mobil tua itu berjalan, “Gadis kuncir kuda, kemeja hijau dan rok bunga-bunga. Persis kata penjaga warnet tadi.” Dengan satu tangan tetap memegangi setir, lelaki kedua menunjuk sosok yang jaraknya sekitar 500 meter di depan mobil mereka.
“Sepertinya dia masih sangat kecil, menurutmu apakah...?” Belum selesai lelaki pertama menyelesaikan kalimatnya, lelaki kedua mempercepat laju mobil mereka.

Yang selanjutnya terjadi hanya bunyi benturan, jeritan disusul jeritan, lalu hening di dalam mobil mereka selama perjalanan kembali ke rumah kontrakan.

***

Pagi harinya mereka duduk berdua di meja makan. Berhadapan, namun tidak saling bicara. Kopi di cangkir masing-masing mulai mendingin tanpa disesap sedikitpun oleh pemiliknya. Di meja tergeletak sebuah harian lokal, terbuka pada halaman berita berjudul:

“SEORANG GADIS TUNARUNGU MENJADI KORBAN TABRAK LARI”

***

Mereka pembunuh bayaran.

Dulunya.

Sekarang mereka adalah satpam di sebuah sekolah luar biasa. Mereka berdua hidup dari tawa anak-anak yang menjadikan isyarat sebagai bahasa.


10 Mei 2013
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan menulis # nguping dari sini