Rabu, 28 Maret 2012

posesif

jangan genggam tanganku
karena aku pasti balas mengenggammu
erat.
terlalu erat.

jangan genggam tanganku
kamu mungkin akan sulit bergerak
karena jemariku serupa tali yang mengikat

jangan genggam tanganku
karena yang akan balik kugenggam adalah kedua tanganmu. 
Ya, kedua tanganmu.
agar tidak ada lagi yang bisa meraihnya selain aku

jangan genggam tanganku
karena saat kamu melakukannya
ada hatiku ikut terbawa


maka....

jangan.

pernah.

genggam.

tanganku.



pokoknya jangan!





kecuali memang tidak akan 
kamu lepaskan.


Minggu, 04 Maret 2012

The Pacific

PROLOG:


Tempat yang indah.


Terlalu indah bahkan. 

***

Persis seperti khayalanku. Tembok putih bersih dengan cermin besar sampai ke langit-langit di satu sisinya. Lantai kayu yang hangat. Satu tempat tidur besar berseprai putih dan bantal-bantal bersarung merah maroon. Satu dapur kecil bersih dengan aroma roti yang baru matang memenuhi ruangan. harum. Di dekatnya ada meja makan kecil dengan dua cangkir kopi di atasnya. Salah satu cangkir itu milikku, aku tahu. Satu milik entah siapa. Sebuah kulkas dua pintu yang penuh foto-foto dan post it note ditempelkan dengan magnet berbentuk buah-buahan.

"Cepet pulang yaa :)"

Aku membaca salah satunya. Tulisan tanganku, aku tahu.

Di suatu sudut lain aku melihat satu rak buku besar. Di sana berjejer komik dan berbagai bacaan koleksiku. Tidak jauh dari situ ada pintu yang mengarah ke luar, ke sebuah balkon dengan kursi rotan yang tampak sangat nyaman diduduki. Aku berpikir untuk mengambil sebuah buku lalu duduk di kursi itu, membaca sampai lupa waktu. Tapi satu suara dari ruangan lain membuatku mengurungkan niatku.

Satu ruangan lagi, dengan satu sofa besar dan satu televisi layar datar yang tengah memutar salah satu film favoritku, tepat pada adegan favoritku:


Andy Dufresne: You know what the Mexicans say about the Pacific? 
Red: No. 
Andy Dufresne: They say it has no memory. That's where I want to live the rest of my life. A warm place with no memory.


Ada seseorang duduk di sofa. Aku berjalan mendekat, dan indera penciumanku menangkap aroma wewangian yg tidak asing. Orang di sofa itu menoleh ke belakang, ke arahku. dan tersenyum. Ah, aku ingat senyum itu. Senyum paling meneduhkan yang pernah aku lihat. 

"Kamu?" Hanya kata itu yang mampu keluar

Dia memberi isyarat agar aku beranjak ke sebelahnya. Bagai dihipnotis aku duduk di bagian sofa yang tadi dia tepuk dengan sebelah tangannya. Tepat di sebelah kirinya. 

"Kamu?" Lagi-lagi hanya kata itu yang mampu aku ucapkan.

"Katanya tadi suruh cepet pulang" Tangannya menyibak helai anak rambut yang jatuh menutupi mataku, sambil tetap tersenyum dan memandangku lekat.

"Ini dimana?"

"Utopia."

***

EPILOG:


Sungguh tempat yang indah.


Terlalu indah bahkan.


Aku mengarahkan telunjuk dan ibu jariku ke sekelumit kulit di tangan, "Jika ini mimpi, maka aku tidak akan pernah mau untuk bangun lagi. Jika ini nyata, maka aku akan menenggak kafein sebanyak yg kubisa agar tetap terjaga"

Lalu aku mencubit lenganku....




.................................




tidak terasa apa-apa.



hadirmu, senyumku, rinduku, khayalku. 
utopia.


P.S.
utopia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:
sistem sosial politik yg sempurna yg hanya ada dl bayangan (khayalan) dan sulit atau tidak mungkin diwujudkan dl kenyataan (nomina)

Sabtu, 25 Februari 2012

pledoi

baik tentang saya, tentang dia,
pun tentang kami berdua,
saya tidak berusaha mencari pembenaran atas segalanya


jika memang kesalahan ada pada saya,
sungguh tidak lain karena saya sama


seperti anda semua:



manusia.

  

Sekian.





once he said, "mereka bukan hakim, dan kita bukan terdakwa"

Senin, 13 Februari 2012

a destiny wanderer





"Pengembara"

Itulah satu kata yg selalu dia gunakan untuk mendeskripsikan tentang dirinya. Mengembarai apa aku juga kurang paham, karena setauku dia tidak pernah pergi kemanapun selain sesekali berlibur ke luar kota. Tapi yang jelas, kata itu yang selalu dia pilih untuk menjawab pertanyaan berjenis "pilih satu kata yang paling menggambarkan dirimu". Kata itu pula yang dia gunakan untuk mengisi kolom "About Me" di akun jejaring sosialnya. Tapi maksudnya apa, sungguh aku tidak pernah tahu. Sampai hari ini.

"Aku pengembara yang mencari jalan pulang ke rumah" jelasnya saat aku menanyakan maksud diksi itu. Aku, yang tidak punya setetespun darah sastra yang mengalir di tubuhku, hanya bisa diam mendengarkannya berfilosofi tentang apa yang dia sebut 'rumah', dan tentang keinginan terbesarnya dalam hidup, yakni menemukan 'rumah' itu.

"Kalau kamu, apa keinginan terbesarmu?" tanyanya usai merampungkan penjelasan panjang lebar nan filosofis tentang per'rumah'an. Aku tidak langsung menjawab, melainkan menatap matanya lekat2. Lama. Dia salah tingkah, membuang pandangan sambil membenarkan anak rambut yang jatuh di keningnya.

"Aku mau nemenin kamu mengembara mencari jalan pulang ke rumah" Dia tampak kaget mendengar jawabanku, dan ganti menatapku dengan pandangan ah-masa-sih-yang-bener-kamu.

"Boleh?" tanyaku kemudian. 

Yang dijawab dengan anggukan kecil dari wajahnya yang memerah.

***
Pertanyaanku 6 bulan kemudian dia jawab dengan gelengan kepala. Tidak, aku bahkan belum sempat menanyakan apa2. Aku baru membuka kotak kecil yang aku simpan di sakuku sejak seminggu lalu. menunggu waktu yang tepat dan keberanian yang cukup untuk mengeluarkannya.

"Maaf, tapi apapun yang kamu minta kali ini, aku ngga bisa"
"Kenapa?"
"Kamu kan tau, aku ga bisa terikat, aku ini pengemba..."
"AKU TAU!" aku memotong kalimatnya, "Udah ratusan bahkan ribuan kali kamu bilang kamu pengembara bla bla bla nyari jalan pulang bla bla bla...aku tau...tapi sampai kapan? kamu mau nyarinya sampai kapan?"
"Sampai aku nemu..."
"Nemu apa?"
"Rumah..."

Jawaban terakhir itu membuatku enggan mendebatnya lagi. Yang bisa aku tangkap dengan telinga awam ini dari penjelasannya tentang 'rumah' tempo hari adalah, dia mencari tempat, orang, atau keadaan yang bisa membuatnya nyaman, membuatnya merasa 'pulang'. Dan rasanya aku cukup percaya diri menyatakan bahwa aku bisa menjadi semua yang dia cari dalam pengembaraannya. Tapi dari jawaban terakhirnya tadi, aku sadar ternyata aku salah. Entah 'rumah' seperti apa yg dia cari, yang jelas itu bukan aku.

Aku berlalu meninggalkannya. Berharap dia akan mengejar atau memanggil namaku, meminta untuk kembali, mengatakan bahwa dia berubah pikiran.....

Tapi tak satupun dia lakukan.

Pengembara itu tetap duduk diam.

***

Sebulan terakhir aku tidak merasakan apa-apa selain hampa. Kosong. Hitam putih tanpa warna. Selongsong raga tanpa jiwa. Aku kehilangan segalanya. Lelucon-leluconnya, filosofi2 yang selalu sulit kupahami, umpatan-umpatannya tentang apapun yang tidak dia suka, keluh-kesahnya tentang hidup dan pekerjaan. Dan yang lebih penting dari semua itu, aku kehilangan semangat hidupku.

Setelah menimbang beberapa detik, akhirnya  aku mengambil ponsel, mencari namanya di daftar kontakku dan mengetik satu kalimat pendek.

Sent.

***

Dua jam setelah mengirim pesan singkat itu aku masih menunggu balasan darinya.

Tidak ada.

***

Pukul 11.11 malam bel rumahku berdering. Aku beranjak dari sofaku dengan enggan, sambil menggerutu tentang orang tidak tau sopan santun yang bertamu selarut ini. Perlahan aku membuka pintu dan terkejut mendapatinya berdiri di depan. Bisa kulihat matanya sedikit sembab.

"Handphoneku tadi mati terus baru dinyalain waktu udah sampe rumah dan udah malem banget terus baru baca sms kamu terus..." dia tidak melanjutkan kata-katanya.

"Kamu nulis apa tadi?" tanyanya setelah terdiam beberapa detik.

"Katanya udah baca.."

"Maunya denger langsung" 

Aku menarik nafas sejenak, menatapnya dalam2. "Home, is where the heart is" ujarku sambil tersenyum.

Dia balas tersenyum sambil mengusap airmatanya yang terjatuh, kemudian memelukku dan berkata:

"I'm home then...."



Puisi @Dear_Connie

Kisah di Atas Jemuran

Mungkin kita adalah
sepasang pakaian:
Kamu atasannya,
dan aku bawahannya.

Kamu dijemur di sudut kiri,
aku di sudut kanan.
Kita saling melirik,
tapi belum pernah bertemu.

Tapi sebenarnya kita sepasang.

Tunggu.
Mari kita tunggu
sampai kita berdua
sama-sama kering dari luka lama.

Lalu kita berdua akan bertemu
berbagi suatu hari bersama.
Ya, bagiku sehari itu cukup.
Asal kita berdua saja di hari itu.

Kamu.
Aku.
Dalam satu tubuh.
Saling melengkapi.

Sepasang.


puisi ini saya temukan di tumblr (wajib mampir!) punya @Dear_Connie, salah satu akun twitter yg saya follow
salah satu puisi terMAKDEG yang pernah saya baca :'D

duh, seandainya saya sepandai itu bermain kata2
pasti saya pilih nulis buku dan kemudian resign dari pekerjaan penuh ketidakjelasan ini #curcoldetected
:D