Mereka pembunuh bayaran.
Mereka berdua hidup dari kematian
orang-orang yang bahkan mereka tidak ingat lagi nama-namanya. Ya, mereka
hanya berdua, tapi nyawa yang teregang sudah tidak terhitung jumlahnya. Korban
mereka beragam, tapi sebagian besar adalah orang-orang yang cukup berpengaruh dan punya jabatan. Masih
ingat politisi yang tempo hari tewas dalam kecelakaan lalu lintas? Bukan, itu
bukan kecelakaan. Salah satu ciri 'hasil karya' mereka adalah membuat korban
seakan meninggal dengan ‘wajar’.
Malam ini sama seperti
malam-malam lain yang mereka punya. Berkumpul di sebuah tempat terpencil, kali
ini adalah sebuah warnet tak bernama di sebuah gang sempit ibukota, untuk
membicarakan rencana pembunuhan selanjutnya.
“Pekerjaan kali ini terlalu
mudah. Kita hanya perlu menyamar sebagai perawat rumah sakit, mencabut selang-selang
di tubuhnya. Tamat.” Kata lelaki pertama.
“Sungguh tidak menantang. Lagipula
kenapa harus susah-susah membayar kita untuk membunuh, toh sebentar lagi
menteri renta itu mampus digerogoti penyakitnya.” Lelaki kedua menimpali.
“Wakil menteri sudah sangat tidak
sabar menggantikan posisi si tua bangka. Kau sendiri dengar berapa bayaran yang
akan dia berikan un....”
BRUKK!!!
Mereka terkesiap mendengar suara
dari bilik sebelah.
“Kau bilang warnet ini kosong,
brengsek?!” Lelaki kedua memaki dalam bisikan.
“Mana kutahu akan ada yang
datang?!”
Suara berisik tadi sudah tidak
terdengar, berganti dengan suara langkah kaki menjauh diikuti suara pintu
warnet yang dibuka, dan kemudian menutup kembali dengan sendirinya.
“Menurutmu apakah dia
mendengarnya?”
“Menurutmu apakah suaramu yang
seperti toa itu tidak akan terdengar dari radius kurang dari 100 meter?” Lelaki
kedua menaikkan intonasi, geram pada rekannya sendiri.
“Menurutmu kita perlu
menghabisinya?”
“Menurutmu kita perlu menunggu
siapapun-orang-di-bilik-sebelah-tadi menyebarluaskan apa yang barusan dia
dengar?” Lelaki kedua setengah menyeret lelaki pertama keluar dari bilik
mereka, membayar biaya sewa warnet yang tidak sampai satu jam digunakan dan
bergegas menuju mobil merah butut merah yang terparkir di depan gang.
Tidak sampai 5 menit mobil tua itu berjalan, “Gadis kuncir kuda,
kemeja hijau dan rok bunga-bunga. Persis kata penjaga warnet tadi.” Dengan satu
tangan tetap memegangi setir, lelaki kedua menunjuk sosok yang jaraknya sekitar 500 meter di depan mobil mereka.
“Sepertinya dia masih sangat
kecil, menurutmu apakah...?” Belum selesai lelaki pertama menyelesaikan
kalimatnya, lelaki kedua mempercepat laju mobil mereka.
Yang selanjutnya terjadi hanya
bunyi benturan, jeritan disusul jeritan, lalu hening di dalam mobil mereka
selama perjalanan kembali ke rumah kontrakan.
***
Pagi harinya mereka duduk berdua
di meja makan. Berhadapan, namun tidak saling bicara. Kopi di cangkir
masing-masing mulai mendingin tanpa disesap sedikitpun oleh pemiliknya. Di meja
tergeletak sebuah harian lokal, terbuka pada halaman berita berjudul:
“SEORANG GADIS TUNARUNGU MENJADI
KORBAN TABRAK LARI”
***
Mereka pembunuh bayaran.
Dulunya.
Sekarang mereka adalah satpam di
sebuah sekolah luar biasa. Mereka berdua hidup dari tawa anak-anak yang
menjadikan isyarat sebagai bahasa.
10 Mei 2013
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan menulis # nguping dari sini