Walaupun tidak merayakan, tapi saya selalu suka suasana Natal. Dan saya juga udah pernah nulis tentang kesukaan aneh itu disini :D
Nah, mumpung saya sekarang tinggal di kota besar, suasana Natalnya bisa jauh lebih berasa nih, di mal-mal maksudnya :|
Minggu lalu saya sempet jalan-jalan sendirian ke suatu mal, terus berdiri lamaaaa di depan pohon natalnya, cuma memandang dan mengaguminya dalam diam. Kaya orang dongo. Bodo amat deh diliat sama cicik-cicik yang lewat hehe. Terus di kantor juga sempet beberapa hari dipasang pohon Natal di kantin. Pengen foto-foto tapi pasti deh ntar ujung-ujungnya diceramahin ini itu. Padahal beneran, saya suka sama suasana Natalnya aja, ga ada unsur religi-nya sama sekali. Natal kan identiknya sama tenang, salju, adem, banyak year end sale (lho?). Yaaah intinya suasananya berhawa liburan banget, walaupun libur Natal yang taun ini saya tetep masuk kerja hiks :(
Selain pohon, yang khas juga dari Natal adalah lagu-lagunya. Mengingat saya agak sentimentil :"> saya suka lagu Natal yang selow galau gitu, haha. Yang rada jazzy, easy listening terus mendayu merayu. Kalo taun lalu saya tergila-gila sama Christmas Song-nya Nat King Cole (ada di link di atas), tahun ini saya sukaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa banget sama lagu yang satu ini:
Christmas and Chris Martin!
Too good but it's true :D
Satu lagi yang identik sama Natal: salju <3
Gara-gara kemarin liat film The Holiday (sama kamu), jadi tambah pengen beneran mengalami Natal yang bersalju. Ya, suatu saat saya akan beneran menikmati white christmas. Dan live.
Dan sama kamu :)
Jadiii
buat siapa saja yang merayakan Natal, have yourself a merry little christmas :D
Buat yang ngga ngerayain juga tetep happy holiday :D
Dan buat saya: happy working \:S/
Akhir-akhir ini saya baru menyadari kalau saya sudah banyak berubah. Beberapa tahun terakhir saya berdoa setiap malam untuk seorang teman (perempuan) yang bisa nemenin jalan-jalan, nyalon, beli baju, ngobrol dll. Maklumlah, saya selalu 'dibuang' ke pulau sama perusahaan, makanya dulu ngarep banget punya temen cewe yang nyambung gitu. Tapi, giliran saya udah pindah ke tempat yang kebanyakan penduduk gini, saya malah jauh lebih suka sendirian. Saya males basa-basi, males sosialisasi, males ngobrol sama orang-orang, males dengerin orang ngomong. Sekarang pokoknya prinsip saya 'Talk less, do less too more'.
Padahal kalo inget jaman kuliah dulu, beuuuuhh bisa berjam-jam ceritaan sama temen-temen. Nyeritain segala sesuatu sampe detail, kadang plus reka adegan segala hahaha. Kalo sekarang iseng bbman sama temen-temen kuliah pasti rata-rata komennya adalah "Kangen denger ceritamu, Dhik". Yaaa secara dulu saya ibaratnya ga punya private life, apa-apa saya umbar ke temen-temen. Bahkan pernah sekali pas abis ngedate saya peragain setiap detil adegannya mulai dari ketemuan sampe obrolannya, sampe gesture si cowo itu. Hahaha super ember pokoknya.
Yes once I was an expressive and brilliant story teller :D
Sekarang mah boro-boro. Mau cerita rasanya kok males. Mau memulai obrolan kaya nge-blank, ga kepikiran mau ngomongin apa, ga ada bahan. Kalo dulu saya identik dengan banyak omong dan ekspresif, sekarang saya dikenal sebagai pendiem yang mukanya lempeng2 aja. Hahahaha
Saya kadang bertanya-tanya, ini yang salah calon-calon partner ngobrol saya atau gimana sih? Apa emang mereka ngga satu 'frekuensi', ga klik, jadinya saya ga bisa nyaman cerita. Belum nemu yang 'soul'nya sama aja kali ya. Ya tapi masa dari ribuan karyawan di perusahaan saya sekarang ga ada satupun yang klik???Berarti salahnya ada sama saya.
Saya-nya yang ngga beres :|
Saya juga jadi bertanya-tanya. Apa mugkin 3 tahun hidup (bisa dibilang) sendirian jadi ngubah saya jadi apatis gini ya? Saya ngerasa saya bukan lagi orang yang menyenangkan buat orang lain, yang bisa nge-jokes dan bikin orang lain ketawa, yang bisa membuat diri saya jadi orang yang adorable. Dulu juga engga gitu-gitu amat sih, tapi setidaknya ga separah sekarang,
Dan pertanyaan yang paling membuat saya takut adalah,
Bagaimana jika saya yang dulu itu adalah saya yang masih mencari-cari jati diri?
Kayanya saya memang terlalu sering melihat ke 'atas', ke orang-orang yang 'lebih' daripada saya. Lebih cantik, lebih pintar, lebih beruntung, pokoknya lebih. Padahal ketika saya ngobrol dengan teman-teman, ngga jarang juga ada yang bilang bahwa mereka iri sama saya. Iri sama pengalaman saya, sama kehidupan saya yang konon di mata mereka kelihatan 'berwarna' (baca: banyak masalah).
Yah, selamanya rumput tetangga memang akan selalu lebih hijau.
Tapi sekarang, instead of cuma memandang dengan iri rumput tetangga yang jauh lebih hjau, saya lebih memilih untuk merawat dan menghijaukan rumput saya sendiri saja.
Aku merasa seperti melayang. Aku bahkan mulai mempertanyakan apakah ini bulu atau tubuhku. Sekedar sepoi angin bisa menerbangkanku hingga puluhan mil ke depan. Gaya tarik bumi tidak lagi merengkuhku dalam dekapan. Aku melayang.
Yang menahan gerakku hanya genggamanmu. Tangan kita terikat menyatu. Apakah kamu merasakan awan-awan lembut menampar pipi? Apakah matamu juga kenyang memandang pelangi?
Kita semakin dekat dengan sinar cerah di ujung mega. Sinar-entah-apa itu nampaknya memiliki gravitasi yang menarik kita semakin dekat padanya. Menarik terlalu kuat hingga menengok ke belakang pun kita tak bisa.
Apakah jatuh cinta memang membuat kita begitu ringan melangkah?
Karena bersamamu aku tidak merasa memijak tanah.
***
Kerumunan orang itu semakin ramai. "Ada apa?" tanya salah seorang yang baru tiba. Perempuan di sebelahnya menunjuk mobil penyok di depan mereka. "Sepertinya sepasang kekasih. Tangan mereka saling menggenggam."
Sudah lebih dari 15 menit sejak kamu mengucapkan kalimat itu. Berarti sudah 15 menit aku duduk diam menunggu layaknya orang dungu. Dan sudah 15 menit kamu memasang mimik 'sedang serius berpikir' di wajahmu.
"Hey, apalagi sih yang musti dipikirin??"
Rasanya ingin sekali aku meneriakkan pertanyaan ini sambil mengguncang-guncang bahumu.
Ya, apalagi yang sebenarnya musti kamu pikirkan?
Aku kira kedekatan kita selama tiga bulan tidak akan membuatmu harus berpikir sekeras ini. Pergi berdua setiap malam minggu, berjalan bergandengan, menonton bioskop sambil berpegangan tangan, pelukan selamat jalan di depan pagar kos-kosan, saling mengirim pesan singkat sepanjang hari, menelpon hingga ketiduran di tengah malam, bercanda mesra di jejaring-jejaring sosial...
Apakah semuanya masih belum cukup?
Apalagi yang harus kamu pikirkan?
Seingatku kamu tidak harus berpikir selama ini saat membalas ciumanku di hari ulang tahunmu. Kamu pun langsung menerima buket bunga yang kubawa dengan raut wajah yang gembira di suatu malam minggu. Kamu tanpa pikir panjang mengucapkan 'kangen' saat 4 hari berturut-turut kita tidak bertemu.
Lalu apa yang sebenarnya saat ini kamu pikirkan?
Tiba-tiba kamu menegakkan kepalamu dan memandangiku. Selama beberapa menit hanya itu yang kamu lakukan. Aku bisa merasakan jantungku memompa darah lebih kencang dari yang seharusnya. Rasa percaya diri yang kubawa dari rumah seakan luruh pelan-pelan.
Lalu kamu menghembuskan nafas panjang, tersenyum dengan sangat manis.
Sebelum akhirnya mengulurkan
tangan kirimu.
"Maaf ya"
Madu di tangan kananmu, racun di tangan kirimu Aku tak tahu mana yang akan kau berikan padaku...
Akhirnya aku tahu tentang perasaan yang diceritakan pada hampir semua lagu. Selama ini aku hanya mendengar lirik saja, kini aku sendiri yang langsung merasakannya. Makanku tak enak, tidurku tak pernah nyenyak. Aku lebih banyak melamun, membayangkannya kami, dan lalu berakhir dengan tersenyum sendiri. Aku tidak sabar untuk berangkat sekolah hanya agar bisa bertemu dengannya. Berdandan lebih lama dari yang biasanya, agar tampak menarik di matanya. Berpura-pura meminjam pulpen hanya untuk sekedar mengajaknya berbicara.
Tidak, aku tidak gila. Aku hanya jatuh cinta.
***
Dear diary,
Hari ini kami bermain bersama sepulang sekolah. Sebenarnya biasa saja, hanya duduk-duduk sembari berbagi cerita. Tapi kurasa hal sesederhana apapun pasti akan terasa istimewa jika dilakukan bersamanya. Kemudian kami makan bakso di seberang sekolah. Dia mengandeng tanganku saat akan menyeberang. Aku bisa merasakan jantungku berdebar lebih kencang. Aku sangat gugup. Gugup sekaligus senang.
***
Dear diary,
Hari ini aku bercerita tentang dia pada mama. Mama marah besar. Kata mama aku masih kecil, tidak tahu apa-apa tentang cinta. Kata mama aku tidak boleh dekat-dekat lagi dengannya. Tidak boleh main bersamanya, bahkan tidak boleh sekedar meneleponnya. Aku sedih. Sedih sekali.
Kenapa?
Kenapa?
Kenapa?
Kenapa aku tidak boleh jatuh cinta padanya?
Kenapa?
Kenapa aku tidak boleh jatuh cinta pada perempuan pilihanku
Dia datang. Refleks aku tersenyum. Tapi senyumanku berangsur memudar melihat tiga orang di belakangnya. Pasti kami berdua tidak akan mengobrol banyak apabila dia datang bersama bapak-bapak itu. "Nasi campur empat" kata salah satu bapak yang berjanggut paling panjang. Aku tidak menjawab, hanya bergegas menyiapkan pesanan tersebut. Sekilas aku meliriknya, dia ternyata juga tengah memperhatikanku. Kurasakan pipiku memerah.
***
Aku agak kecewa mereka turut serta bersamaku. padahal mungkin ini kesempatan terakhirku bertemu dengannya. Terakhir? Sebenarnya hanya aku yang bisa menetukan apakah ini yang terakhir atau bukan. Tapi aku sudah sejauh ini. Hari H sudah dekat. Aku tidak bisa mundur lagi. Tidak bisa? Entahlah. Terlalu banyak pikiran di kepalaku. Mungkin semuanya tidak akan sesulit ini apabila aku bertemu dengannya lebih awal. Atau justru bertemu dengannya lebih awal pun tidak akan mengubah apa-apa? Aku mengenyahkan semua pikiran dari kepalaku dan mencoba fokus pada diskusi kami. Tapi mataku entah mengapa seperti terpaku ke arahnya. Dia sempat mencuri pandang padaku, kemudian membuang muka malu-malu. Manis sekali. Seandainya...
"Besok kita laksanakan." tepukan di bahu membuyarkanku dari lamunan.
Aku diam. Tidak menjawab. Dan pernyataan itu memang tidak membutuhkan jawaban.
***
Aku bersiap menutup warung ketika dari kejauhan aku melihatnya setengah berlari menuju arahku. Seperti biasa dia memberi salam yang kali ini kujawab sambil susah payah menyembunyikan senyumanku. "Masih ada nasi?" tanyanya. Aku mengangguk pelan. Kusiapkan nasi pesanannya sambil sesekali meliriknya. Dia nampak gelisah. Dia memang selalu kelihatan gelisah, tapi kali ini aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. "Tadi bukannya sudah makan?" tanyaku saat menyodorkan piring ke meja di hadapannya. Dia hanya tersenyum sejenak, lalu menjawab, "Mumpung masih bisa." Mungkin karena melihatku mengernyit heran, dia kemudian menyambung singkat "Udah laper lagi". Aku tengah membereskan piring-piring yang baru selesai dicuci ketika tiba-tiba dia bertanya "Lagu ini yang nyanyi siapa ya?". Ini adalah lagu saat dia pertama datang ke sini kira-kira sebulan yang lalu. Aku ingat sekali. "Kalau dari suaranya sepertinya Chrisye."
Kalimat singkat darinya kemudian mampu membuatku terkejut, sekaligus senang. Sangat senang.
"Ini kan lagu yang sama seperti waktu saya pertama kali ke sini."
Ah, dia juga ingat rupanya.
***
Hari ini akhirnya tiba juga. Untuk beberapa menit otakku memutar ulang kembali sepotong demi sepotong peristiwa kemarin sore. Sore yang mungkin adalah sore paling indah buatku. Padahal tidak ada apa-apa. Hanya obrolan-obrolan singkat, tentang lagu, tentang harga-harga yang naik, tapi entah kenapa saat itu rasa bahagia memenuhi dadaku. Bahkan hanya membayangkannya kembali seperti ini pun aku masih bisa merasakan bahagia itu.
Tapi aku tahu semuanya hanya kebahagiaan fana. Karena bahagia yang abadi adalah episode setelah ini.
Aku melangkah mantap. Apapun tidak akan menghentikan perjuanganku. Apapun.
"Allahu Akbar"
....
***
Ketukan di pintu membuatku beranjak dari depan TV yang tengah menayangkan berita bom bunuh diri terbaru. Aku bertanya-tanya siapa yang datang. Ini masih terlalu pagi untuk sarapan, warung juga belum waktunya buka.
Bapak penjaga masjid berdiri di luar, mengucap salam lalu mengulurkan amplop putih. Aku bisa merasakan senyum tersungging di bibirku saat bapak itu menyebut amplop itu adalah dari pemuda yang sebulan ini memenuhi pikiranku, ya amplop itu darinya. "Tadi dititipkan setelah selesai sholat Shubuh berjamaah". Kuucapkan terimakasih lalu kembali masuk ke dalam rumah. Bisa kurasakan jantungku berdebar lebih cepat dari yang seharusnya. Kubuka amplop itu perlahan. Sepucuk surat. Isinya hanya bacaan basmalah dalam tulisan arab dan sepotong kalimat,
"Kini telah kujumpa, air sejuk pelepas haus dahaga"
Entah kenapa airmataku menetes. Mungkin karena aku tahu, ini bukan surat cinta.
Ini adalah malam ketiga sejak kamu kembali ke kotamu,
malam ketiga aku harus kembali tidur sendiri
Tidak, aku tidak menangis. Aku hanya terjaga tanpa melakukan apa-apa. Selain membayangkanmu, membayangkan kita. Dan membayangkan betapa hampanya saat aku harus bangun esok hari. Terbangun, lalu menyadari di sampingku tidak ada kamu lagi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 3 dini hari. Aku menguap untuk yang kesekian kali. Iya, sesungguhnya aku merasakan kantuk yang amat sangat, tapi entah kenapa meski mataku sudah terpejam, aku tidak juga terlelap.
Ah tidak, aku tahu kenapa.
Karena
tidak ada bantal senyaman lenganmu,
tidak ada selimut sehangat pelukmu,
tidak ada tidur senyenyak bersamamu.
Maka yang bisa kulakukan hanya menunggu,
menunggumu kembali dan mengakhiri insomnia ini.
'Cause when you’re around I feel safe and warm
'Cause when you’re around I can fall in love every day
Obrolan 'ringan' bersamamu tidak pernah benar-benar ringan. Selalu lebih 'berbobot' dari yang seharusnya. Padahal kita hanya membicarakan tentang lagu, tapi buatku itu adalah obrolan yang berat. Berat karena aku harus bicara sambil terus menahan gejolak kupu-kupu di perutku. Berat karena selain mengobrol denganmu, aku tidak berhenti bermonolog dengan diriku sendiri.
aku: "Kenapa harus dia sih?"
aku: "Ya mana aku tau, aku kan juga ga bisa ngatur."
aku: "Ya tapi gimana kek, jauhin kek."
aku: :(
aku: "Nanti kamu sendiri yang sakit."
aku: :(
Dan yang paling berat dari semua adalah menahan diriku agar tidak lalu tiba-tiba memelukmu dan menumpahkan segala yang seharusnya hanya kusimpan sendiri.
Saat itu kamu tengah bercerita tentang lagu-lagu yang menurutmu sangat pas didengarkan saat hari mulai beranjak senja. Lagu-lagu yang sepi, mendayu-dayu, dan bisa membuat kita merenung sejenak tentang hari yang baru saja terlewati. Lalu kamu sampai pada satu lagu senja favoritmu.
"Ini lagunya cocok banget didengerin pulang kerja sore-sore. Pas lagi nyetir sendirian waktu senja terus langitnya warna jingga."
Dan kamu bersenandung kecil, "Hold back the night from us, cherish the light for us, don't let the shadows hold back the dawn.... Coba deh kamu cari terus dengerin. Bagus. Beneran"
Yang kamu tahu, aku menjawab dengan, "Okee, kapan-kapan aku cari kalo sempet."
Yang kamu tahu, kemudian kita kembali mengobrol 'ringan' dengan topik-topik sepele lainnya.
***
Yang tidak kamu tahu, saat itu juga aku langsung mencari lagu yang kamu maksud di internet.
Yang tidak kamu tahu, aku langsung mendownload dan menyimpannya di telepon genggamku,
agar bisa kudengarkan kapan saja.
Yang tidak kamu tahu, aku selalu memutar lagu itu.
Tidak hanya saat senja dan langit berwarna jingga,
Kemarin saya sarapan di warung Bu Doning. Tempat saya biasa sarapan jaman masih kuliah dulu. Terakhir ke sini lebaran taun lalu, tp si ibuk masih inget aja sama saya :'). Abis maaf2an lahir batin, cipika cipiki, pesen makan, basa basi, ditanya sekarang tinggal dimana, kerja apa, dll si ibuk tiba2 nyeletuk "Udin kemarin nikah sebelum puasa lho mba Dhika. Dapet orang Cirebon."
Wah saya langsung excited denger kabar itu. Saya memang selalu seneng denger kabar bahagia, apalagi orang yang satu itu, memang harus bahagia kalo menurut saya. Mengingat saya mungkin pernah bikin dia ga bahagia, cenderung menderita hehehe
Udin bukan mantan saya. Bisa dibilang saya ngga punya mantan. Saya ngga pernah pacaran, kalo HTS sih sering, hehe. Bukan HTS juga sih, kalo sekarang istilah ngetrend-nya 'friendzone'. Intinya saya ngga pernah 'jalan' sama orang yang pake komitmen. Karena apa? Ya simpel aja sih, yang saya taksir ga naksir saya, yang naksir saya ngga saya taksir.
Salah satu 'korban' saya namanya Udin, anak Arsitektur angkatan atas. Konon itu nama gaulnya, sampe sekarang saya ngga tau nama aslinya, dan dulu ga pernah nanya juga. Jahat ya :|
Udin kalo secara fisik sih oke. Agak kurus, ganteng, garis mukanya tegas, mirip Desta Club 80's kalo kata temen2. Dulu awal2nya saya juga sempet ngecengin dia, tp pas dia ngecengin balik entah kenapa kok lgsg agak ilfil, hehe. Entahlah, mungkin cowok misterius emang lebih menarik buat saya. Si udin ini terkenal sebagai playboy di daerah saya tinggal gitu deh. Ada tuh satu kosan yang cewe2 cakepnya pernah dia pacarin semua. jadi yaa, boleh deh saya GR pas dia ngedeketin, kan artinya saya termasuk cakep. HAHAHA
Tapi sayang Udin salah pilih target.
Saya orang yang susah suka sama lawan jenis. Susah jatuh cinta gituuu #terLoli. Selain susah jatuh cinta, saya susah luluh. Jadi kalo saya ngga suka duluan sama orangnya, ya biasanya ngga akan luluh terus jadi suka walaupun diperlakukan se-sosweet apapun.
Udin minta dikenalin ke saya lewat temen kuliah yg kosnya deketan sama kos dia. Saya masih semester 2 kalo ngga salah. Trus yang saya inget dia suka main ke kos, tapi saya ngga pernah mau diajak jalan keluar. Ngga mau sama sekali. Jadi kami cuma duduk2 aja di kos. Ngobrol jg seadanya, cenderung saya cuekin (jahat bet jahat). Terus suatu kali dia pernah nanya 'kapan Dhika mau diajak jalan?' saya jawab, '2 taun lagi' dengan nada ketus.
Singkat cerita, abis itu dia jarang main, tp masih suka sms. Dia sempet jalan sama cewe lain, saya juga ada friendzone lain walaupun tetep ya kegiatannya cm duduk2 di kos aja. Sampe akhirnya suatu ketika dia intens sms saya lagi, main ke kos lagi. Temen2 kos yang tau gimana gigihnya si Udin ini mulai nasehatin saya buat jangan jahat2, jangan jutek2, kasih dia kesempatan. Dan saya juga agak tersanjung lah ya, dia sampe segitunya. entah karena dia beneran suka, entah karena egonya sebagai playboy penakluk wanita yg gamau gagal ngedapetin cewe. Apapun alesannya tapi tetep saya jadi ga tega juga kalo dia saya jahatin mulu.
Setelah beberapa kali main ke kos, Udin ngajak makan (lagi), yang saya tolak (lagi), lalu dia skakmat pake kalimat 'ini udah lewat 2taun lho'. Sebagai merpati yang tak pernah ingkar janji (tsaaahhh), saya mau juga jalan sama dia. Makan, nonton, ngopi2. Tapi tetep gamau diajak pacaran, hehe.
FYI itu kalo makan atau nonton ga melulu saya dibayarin lho ya *penting*
Tapi tetep saya ada jahatnya juga sih sama Udin. Ga semua ajakan jalannya saya terima, tapiiii giliran pas malem2 kosan sepi, anak kos pada main semua, saya lgsg sms dia 'jalan yuk' dan selalu dia iya-in. pernah sekali pas abis saya ajakin makan, dalam perjalanan pulang dia ijin mau mampir ke kafe dulu bentar, mau ketemu temen2nya. Terus udin cerita kalo dia sebenernya udah rencana nongkrong sama temen2nya, tp dia batalin mendadak gara2 saya sms ngajakin jalan. 'Lho kenapa? Kalo kamu ada janji ya gapapa bilang aja, kan bisa jalan kapan2'. Dia jawabnya 'Engga ah, Dhika ngajakin jalan duluan itu jarang banget kejadian, masa mau aku lewatin kesempatan langka kaya gini' :'|
Akhir cerita, sampe akhirnya dia lulus, kami ga pernah jadian :P
Tapi Udin mash suka kadang2 sms. Ngabarin kalo dia udah kerja di jakarta, terus sempet 6 bulan di Papua. Terus waktu saya training kerja di Jakarta dia bela2in mampir buat ketemu.
Serius dia orang yang baik. Baik baik banget. Semua orang heran kenapa saya ngga luluh juga sama dia. Jangankan orang2, saya sendiri juga heran. Dulu saya sampe sering berkhayal, kalo saya bisa ngatur perasaan saya, saya mau nge-set buat jatuh cinta sama Udin aja, yang jelas2 sayang banget sama saya. Tapi yah namanya perasaan ya.....
Tapi dari pengalaman sama Udin, saya belajar banyak. Saya belajar buat membuka hati. Saya selalu kasih kesempatan orang2 yang ngedeketin saya, ngga jutek+judes kaya dulu lagi. Yaah minimal jalan bareng sekali lah, sapa tau ternyata cocok, atau siapa tau akhirnya saya luluh. Walaupun ga pernah kejadian juga tuh saya luluh sama orang yg suka duluan. Sampe sekarang, hehe.
Kalo setau saya, Udin juga pasti ngambil pelajaran dari gadis berhati batu ini. Sekali waktu dia pernah bilang, sejak kenal sama saya, dia jadi tahu ngga enaknya ditolak, gimana rasanya cinta bertepuk sebelah tangan, jadi katanya dia berusaha buat ngga nyakitin cewe lagi. Yah, mudah-mudahan menyadarkan playboy ada pahalanya ya.
Oiyaa, satu lagi. Dia bilang, masa mengejar saya adalah masa jomblo terlamanya, hehe ciyan.
Sejak saya ngga tinggal lagi di Bali, kami ngga pernah komunikasi gara2 saya gonta ganti nomer mulu, hehe. Makanya saya kemarin seneng denger dia udah nikah. Duh, kalo tau pasti saya sempetin dateng tuh.
Yang jelas istrinya beruntung dapet Udin yang baik dan kalo udah sayang sama orang ngga setengah2. Saya doain banget banget buat kebahagiaan keduanya.
saya kadang2 suka percaya sama 'mitos', tapi khusus yang baik2.
katanya kalo tangan gatel artinya mau dapet duit: saya percaya. kalo mata kedutan artinya mau dapet musibah yang bikin nangis: saya ngga percaya.
katanya mimpi dipatok ular mau ketemu jodoh: saya percaya. kalo mimpi gigi tanggal artinya mau ada kerabat yang pergi (meninggal): saya ngga percaya.
walaupun pernah nih, pas kuliah semester 4 saya inget banget saya mimpi dipatok ular sampe kaya nyata banget gitu, udah seneng ngarep ketemu cowo idaman eeeeee masih jomblo aja tuh sampe beberapa taun ke depannya. huh! dasar mitos PHP! Pemberi Harapan Palsuk!
intinya saya percaya mitos yg baik2 aja. masa udah cuma mitos doank, belum karuan kejadian, percayanya sama yg jelek2, ngenes bener.
salah satu mitos yang saya percaya dulu adalah: kalo kita bisa nangkep daun gugur yang belum nyentuh tanah, kita bakal dapet keberuntungan dan kebahagiaan.
jangan heran dulu saya hobi nyomotin daun yang jatoh di kap2 mobil yang diparkir di kampus. ya menyalahi mitos sih, karena harusnya daun yang ditangkep adalah daun yg 'fresh' baru gugur, tapi saya waktu itu berinisiatif menggabungkan mitos dengan pikiran rasional, yaitu: kalo daunnya jatoh di mobil/motor/kursi toh artinya kan belum nyentuh tanah. :D
terus saya hobi nyimpenin daun2 itu di dalem tas sampe kering terus remuk, sampe tas saya isinya remah2 daun semua. atau jadiin daun2 itu pembatas buku-buku kuliah yang cuma dibaca menjelang ujian doank
temen2 saya lama2 tau hobi aneh saya ini. mereka nganggep aneh sih pertama2nya, tapi lama2 maklum juga, malah kadang suka kasih daun-gugur-belum-kena-tanah yang mereka temuin di atas jok motor mereka yg lagi diparkir
satu momen yang paling saya inget tentang daun2an ini adalah waktu saya sedang penelitian buat skripsi. saya dan partner penelitian saya, Ida, waktu itu stress berat gara2 hasil yg kurang sesuai harapan, kemampuan ngelab kami yang sangat kurang (yamana tega nyolok mata tikus tiap hari buat diambil darahnyaaa huks huks), stress duit pas2an, stress krn jomblo menahun, duh Gusti :'(
pas itu kami berdua nunggu mau konsul sama dosen pembimbing yang juga pemilik proyek penelitian kami. saya inget, saya sama ida duduk depan kampus yang banyak pohon2nya, saling nyeritain kekhawatiran masing2, lalu dateng angin yang nerbangin daun2 tua di pepohonan sekitar kami. langsung deh kami inget mitos absurd kebanggaan saya itu. dan yang terjadi selanjutnya adalah saya dan Ida lari2 kesana kemari nangkepin daun2 gugur sambil ketawa ketiwi kaya orang gila. beneran stress kayanya sampe diliatin bapak2 lewat juga ga peduli, hehe
tapi gara2 kejadian itu kami jadi lebih rileks, ga terlalu stress lagi, bisa mikir lebih jernih buat langkah2 selanjutnya, pas ketemu pembimbing juga bisa tenang, pas pulang boncengan masih lanjut ketawa2. dan sampai hari ini, 4 taun kemudian, hari itu adalah salah satu hari favorit buat dikenang kalo saya lagi ngobrol sama Ida. (kangen Idaaaaaa T_____T)
seandainya mitos itu benar tentu sangat menyenangkan ya :)
seandainya mitos itu benar, saya akan lebih sering jalan2 ke tempat dimana banyak pepohonan tumbuh
dan saya ngga perlu melakukan apa2, selain duduk diam, menunggu angin datang menerbangkan daun-daun gugur
kalau mitos itu benar, saya akan berusaha menangkap daun gugur sebanyak yang saya bisa
konon pecinta kopi sejati bisa menikmati rasa kopi yang asli, tanpa ditambah embel-embel apa-apa. Murni bubuk kopi yang diseduh dengan air 95 derajat celcius (berdasarkan praktikum Ilmu Bahan Makanan, itu adalah suhu terbaik untuk menyeduh kopi, karena bisa menghasilkan rasa paling enak). sedangkan saya justru suka kopi yang ditambah gula dan susu atau krimer. bahkan lebih sering, kopi yang saya minum adalah kopi instan 3 in 1 yang banyak dijual di pasaran.
maka saya tidak pernah mengklaim bahwa saya adalah pecinta kopi, atau penikmat kopi.
saya hanyalah peminum kopi.
Ngomong-ngomong soal kopi, cerpen Filosofi Kopi karangan mbak Dewi Lestari punya ikatan emosional tersendiri buat saya. karena jauh sebelum membaca cerpen itu, saya juga punya filosofi sendiri tentang kopi , tentang hidup, dan tentang saya.
jika saya adalah kopi, saya pasti bukan lagi kopi murni. sudah terlalu banyak tambahan-tambahan di dalamnya. saya bukan gadis 'lugu' dan 'polos' yang melulu berbaik sangka pada keadaan sekitar saya. kedengarannya skeptis sih, tapi bukankah hidup itu memang keras? tidak semua tokoh di dalamnya adalah protagonis. tidak pula saya (ehem).
walaupun bukan lagi kopi murni, tapi tambahan-tambahan yang saya dapat tidak lalu menjadikan saya lebih buruk (amin), saya adalah kopi dengan pelengkap ini itu yang juga ingin menyenangkan orang2 di sekitar saya, walau tetap tidak semua orang bisa menyukainya.
we can't please everybody, can we?
Dan jika hidup saya diibaratkan dengan kopi, saya tidak mau hidup saya pahit (walaupun nikmat) tanpa variasi layaknya kopi murni. saya mau di sela2 pahitnya, masih ada rasa manis dari gula atau krimer atau susu yang telah ditambahkan. dan tetap nikmat saya sesap sampai tetes terakhirnya.
Ya, saya mau hidup saya seperti itu,
seperti kopi instan 3 in 1 yang saya minum pagi ini.
"Di dunia ini tidak ada yang abadi, kecuali perubahan."
saya lupa pernah baca quote itu di mana, tapi yang jelas bukan di truk. kalo tulisan di truk yang pernah saya baca beberapa di antaranya:
'bekas tapi puas'
'kutunggu jandamu'
'papa pulang, mama basah',
'pulang malu, tak pulang rindu'
'2 anak cukup, 2 istri bangkrut'
'BE YOUNG CARE ROCK' > Biang Kerok
'Alone By Must' > Alon bae Mas
'Mencari nafkah demi desah',
'JANDA 1/3 DISC' > Janda seperti gadis
....
oke, hentikan saya.
saya mau cerita dikit nih. jadi ceritanya kira-kira 3-4tahun lalu, saya pernah dites psikologi sama teman saya gitu, yang buat nentuin sifat dasar kita gitu deeh. hasilnya saya bersifat sanguinis - plegmatis. artinya saya orang ceria+banyak bicara (sanguin) dan cinta damai+suka menghinari konflik (plegmatis). teruus, kemaren saya ikut kuis gituan lagi ('gituan' sounds wrong ngga sih :/), hasilnya saat ini saya adalah seorang sanguinis-koleris. koleris itu keras kepala, bossy, sifat2 leader gt sih..
walopun itu cuma kuis dan ga sepenuhnya bener, tp setelah saya liat lebih dalam lg ke dalam diri saya (tsaaahh), emang sih saya banyak berubah. jadi lebih keras, susah percaya sama orang, sama suka main suruh2 orang. bukan berarti koleris itu jelek sih, cuma kaget aja, koleris sama plegmatis kan jauh banget ya :O
terus saya jg jadi agak sombong. misal nih, mentang2 sama perusahaan dikasih mobil, saya jd suka memandang rendah para pengguna motor. bukan memandang rendah yg gimana, tapi sering merepet sama mereka, misuh2, dll. kaya ngga inget aja kalo dulu saya naik motor juga, dan bawa motornya juga ga melulu bener.
nah, sebentar lagi saya bakal kembali ke masa-masa naik motor itu. semoga saya bisa lebih bijak berkendara karena udah paham sudut pandang pengguna mobil
ini saya nulis apa juga saya bingung.
iya saya lagi bingung. mungkin gara2 hidup saya bakal berubah (lagi) ya. masih wondering gimana nanti saya ke depan, yang biasa ke mana2 naek mobil, adem. bakal balik lagi naik motor+angkot+bus panas2an . yang biasa apa2 dibeli ga pake mikir, duit tinggal warwer-warwer, kudu balik mikir lagi buat ngirit sebagaimana jaman susah saat saya masih berstatus anak kos. tapi jaman jadi anak kos itu mah enak, banyak yg nemenin, ini sekarang temen saya udah pada nyebar ke mana2, dengan kehidupan masing2. saya sendirian deh
Sendirian? saya sih ngerasanya gitu, tapi ada yg bilang saya ngga boleh mikir gitu, karena saya masih punya keluarga, temen2 saya biar jauh jg bukan berarti ga peduli, dan ada satu lg orang yg jg selalu nemenin saya. bener juga sih. saya sering2 denger lagu Alm. Michael Jackson yg 'You're Not Alone' deh biar makin tersugesti
sebagai dampak dari perubahan hidup itu, pasti saya juga akan ikut berubah. pasti. entah berubah jadi kaya gimana, tapi mudah-mudahan perubahan diri saya adalah selalu ke arah menjadi lebih baik. Amin.
baiklah, setelah nulis curhatan ini, perasaan saya rasanya jauh lebih baik. maaf kalo perasaan Anda yg baca malah jadi ngga baik gara2 bingung baca maksud tulisan saya ini apa.
Malam ini entah malam Sabtu yang keberapa. Datang ke kafe ini seminggu sekali sudah jadi agenda rutinku beberapa bulan terakhir.
Berdua dengan kakak lelakiku yang selalu setia menemani kemana aku pergi, kami selalu duduk meja yang sama setiap minggunya. Kata kakakku dari sinilah panggung live music paling jelas telihat. Aku tinggal mengarahkan pandangan lurus ke depan, dan di sanalah kamu berada, memetik gitarmu, memainkan lagu-lagu indah yang aku tidak pernah tahu judulnya.
Kami selalu datang beberapa menit sebelum pertunjukanmu mulai, agar aku tidak kelewatan satu lagupun. Sambil menunggumu mulai bermain, aku memesan minuman. Selalu memesan minuman yang sama, tapi tidak pernah memesan makanan. Konsentrasiku mendengarkan permainanmu pasti akan buyar sementara aku bersusah payah menyendoki makanan keparat di depanku.
Terdengar tepuk tangan di sana sini pertanda kamu mulai naik ke panggung kecil di depan. Setelah berbasa basi sejenak menyapa pengunjung, kamu mulai memetik gitar. Dan tepat saat itu juga dimulailah momen yang bagiku sangat magis. Mendengarkan suara gitarmu entah kenapa bisa membuatku sangat, sangat tenang. Damai sekali. Padahal papa juga sering memainkan lagu dengan piano untukku, tapi rasanya sungguh berbeda. Mendengarkanmu bermain gitar aku merasa seperti tengah bertemu kawan lama yang lama tidak berjumpa. Seperti merasakan hujan jatuh di kepalaku setelah terik seharian. Seperti kembali ke rumah setelah beberapa minggu bepergian.
Seperti pulang. Nyaman.
Lagu terakhir yang kamu mainkan malam ini belum pernah aku dengar sebelumnya. Mungkin kamu baru pertama kali memainkannya di sini. Berapa lama kamu mempelajarinya? Susahkah? Ah sungguh aku sebenarnya ingin tahu banyak tentangmu. Tapi mendengarkanmu memainkannya saja sudah cukup, tak perlulah aku tahu apa-apa lagi. "What you don't know won't hurt you", begitu kata pepatah yang pernah kudengar.
Setelah lagu berakhir, terdengar tepuk tangan panjang. Aku juga ikut bertepuk tangan dengan penuh semangat. Lagu barusan memang indah sekali. Rasanya aku sampai ingin menangis mendengarnya, seperti ada yang tercekat di tenggorokanku. Ha ha ha, aku memang melankolis. Memalukan.
Aku dan kakakku biasanya akan langsung pulang begitu lagu terakhirmu selesai dimainkan, tapi malam ini rupanya memang bukan malam 'biasa'.
"Mas ke toilet bentar ya. Kamu duduk aja ngga usah ke mana2"
Lalu aku pun menunggu dengan was-was. Agak takut. Aku takut sendirian.
"Itu pacar kamu?" sebuah suara tiba-tiba menyapaku. Aku diam saja.kakakku selalu mengingatkanku untuk tidak berbicara pada orang asing. Tapi bagiku kamu bukan orang asing.
"Hah?" Ekspresiku pasti persis seperti orang tolol. Sial.
"Aku liat kamu dateng tiap kali aku main. Sama cowo yang sama di meja yang sama."
"Mmm iya"
"Iya dia pacar kamu? Tapi kok tiap dateng diem2an doank"
"Oh, maksudnya bukan. Dia kakakku." Bisa kurasakan wajahku merah padam. Sial. Sial. Sial. Kenapa musti salting sih?
"Oooh"
Lalu jeda.
Lama.
Mungkin hanya beberapa detik tapi bagiku terasa sangat lamaaaaaaaaaaaa...
Kenapa sih aku? Padahal ini adalah saat yg sangat aku nantikan. Saat aku akhirnya bisa berbincang denganmu. Tapi di bayanganku obrolan kita bisa mengalir begitu saja. Bukan seperti ini. Bibirku kelu, otak beku, aku seperti terpaku, bahkan berkedip pun sepertinya tidak.
"Lagu yang terakhir judulnya apa? bagus" akhirnya aku memberanikan diri membuka suara.
"Ada deeeeh" katamu dengan nada menggoda, berusaha mencairkan suasanan yang kaku.
"Diiih pelit amat" entah bagaimana kecanggunganku hilang seketika. Kamu memang orang yang menyenangkan, tepat seperti khayalanku.
"Mau tau aja apa mau tau banget?"
"Hahahahaha" aku tertawa mendengar gurauanmu
"Hehehe malah ketawa." Kamu diam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Jalan sama aku dulu baru aku kasih tau"
"Hah?"
"Iya, ngedate dulu sama aku, nanti aku kasih tau judulnya"
Aku terdiam. Aku tahu seharusnya aku senang mendengar ajakanmu, tapi....
"Kok malah diem? Oiyaaa, malah belum kenalan kita. Namaku Reno."
Aku tetap diam. Bingung harus bersikap seperti apa.
"Sombong banget, masa jabatan tangan aja ngga mau."
Aku menghela nafas. Sejak awal kamu menyapa aku tahu saat ini pasti akan datang. Aku berpikir sejenak, tapi akhirnya kuputuskan mengulurkan tanganku, "Kania"
Jeda beberapa detik.
"Hei, bercanda ya? Tanganku di sini"
Tepat seperti dugaanku, aku menyodorkan tangan ke arah yang salah.
Yang aku tahu kemudian, kakakku datang, memapahku untuk berdiri dan menuntunku berjalan meninggalkan kafe. Aku tidak sanggup membayangkan bagaimana wajahmu saat itu. Pun wajahku sendiri.
Aku malu sekali.
Ah, tidak. Aku tidak boleh menangis.
***
"Semalem mas ke sana"
Sudah 3 minggu aku tidak pernah ke sana lagi. Rasanya terlalu sakit untuk kembali.
"Dia titip salam"
Aku diam, memandang ke jendela. Atau mungkin sebenarnya aku memandangi dinding karena aku tidak pernah tahu arah jendela kamarku berada.
"Sama titip sesuatu."
Aku masih diam.
"CD"
Beberapa detik setelah kakakku mengucapkannya, di kamarku terdengar petikan gitarnya.
Lagu yang terakhir kali dia mainkan tempo hari.
Dan aku pun mengalami moment magis itu lagi. Tapi kali ini bukan tenang yang aku rasakan.
Sakit.
Dadaku seperti ditekan.
Sakit sekali rasanya.
Sakit sampai ulu hati.
"Ada suratnya. Mau Mas bacain?"
Aku diam beberapa saat. Tapi kemudian mengangguk sambil menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Berharap dengan begitu airmataku urung untuk turun.
"Halo Kania, ini judulnya River Flows in You. Kapan ke kafe lagi? Reno."
entah cuma saya atau semua orang juga merasakannya. dulu jaman SD liat kakak2 pake baju putih biru kayanya kok udah dewasa ya. Pas udah SMP ngerasanya biasa2 aja, yg dewasa adalah kakak2 berbaju putih abu2. pas masuk SMA eeee kok ya teteup sama aja. ah, yang dewasa itu pasti kakak2 mahasiswa, iya pasti gitu, secara mereka bukan siswa biasa, mereka siswa yg 'maha' (apasih dhik). taunya pas udah kuliah kelakuan saya juga masih aja kaya bocah.
dulu juga saya membayangkan saat usia 25, saya sudah jadi mbak2-kantoran-nan-manis-dan-siap-nikah (halah). eee taunya kemaren saya resmi 25 dan tetep ngerasa 'gini-gini aja'. kekanak-kanakan, karir masih ga jelas, trus masih belum settle juga. perjuangan saya masih panjang, bahkan baru mau memulai lagi babak baru (lagi), megingat saya baru saja mengambil keputusan besar dalam hidup. huaaaaaa degdegan. takut. bingung. sekaligus excited pingin tau apa yg nunggu saya di depan sana.
kalau bener pepatah 'kata adalah doa' maka semoga kata yang saya pilih jadi judul post ini termasuk dalam kategori doa yg terkabul. amin.
Persis seperti khayalanku. Tembok putih bersih dengan cermin besar sampai ke langit-langit di satu sisinya. Lantai kayu yang hangat. Satu tempat tidur besar berseprai putih dan bantal-bantal bersarung merah maroon. Satu dapur kecil bersih dengan aroma roti yang baru matang memenuhi ruangan. harum. Di dekatnya ada meja makan kecil dengan dua cangkir kopi di atasnya. Salah satu cangkir itu milikku, aku tahu. Satu milik entah siapa. Sebuah kulkas dua pintu yang penuh foto-foto dan post it note ditempelkan dengan magnet berbentuk buah-buahan.
"Cepet pulang yaa :)"
Aku membaca salah satunya. Tulisan tanganku, aku tahu.
Di suatu sudut lain aku melihat satu rak buku besar. Di sana berjejer komik dan berbagai bacaan koleksiku. Tidak jauh dari situ ada pintu yang mengarah ke luar, ke sebuah balkon dengan kursi rotan yang tampak sangat nyaman diduduki. Aku berpikir untuk mengambil sebuah buku lalu duduk di kursi itu, membaca sampai lupa waktu. Tapi satu suara dari ruangan lain membuatku mengurungkan niatku.
Satu ruangan lagi, dengan satu sofa besar dan satu televisi layar datar yang tengah memutar salah satu film favoritku, tepat pada adegan favoritku:
Andy Dufresne: You know what the Mexicans say about the Pacific? Red: No. Andy Dufresne: They say it has no memory. That's where I want to live the rest of my life. A warm place with no memory.
Ada seseorang duduk di sofa. Aku berjalan mendekat, dan indera penciumanku menangkap aroma wewangian yg tidak asing. Orang di sofa itu menoleh ke belakang, ke arahku. dan tersenyum. Ah, aku ingat senyum itu. Senyum paling meneduhkan yang pernah aku lihat.
"Kamu?" Hanya kata itu yang mampu keluar
Dia memberi isyarat agar aku beranjak ke sebelahnya. Bagai dihipnotis aku duduk di bagian sofa yang tadi dia tepuk dengan sebelah tangannya. Tepat di sebelah kirinya.
"Kamu?" Lagi-lagi hanya kata itu yang mampu aku ucapkan.
"Katanya tadi suruh cepet pulang" Tangannya menyibak helai anak rambut yang jatuh menutupi mataku, sambil tetap tersenyum dan memandangku lekat.
"Ini dimana?"
"Utopia."
***
EPILOG:
Sungguh tempat yang indah.
Terlalu indah bahkan.
Aku mengarahkan telunjuk dan ibu jariku ke sekelumit kulit di tangan, "Jika ini mimpi, maka aku tidak akan pernah mau untuk bangun lagi. Jika ini nyata, maka aku akan menenggak kafein sebanyak yg kubisa agar tetap terjaga"
Lalu aku mencubit lenganku....
.................................
tidak terasa apa-apa.
hadirmu, senyumku, rinduku, khayalku.
utopia.
P.S. utopia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: sistem sosial politik yg sempurna yg hanya ada dl bayangan (khayalan) dan sulit atau tidak mungkin diwujudkan dl kenyataan(nomina)
Itulah satu kata yg selalu dia gunakan untuk mendeskripsikan tentang dirinya. Mengembarai apa aku juga kurang paham, karena setauku dia tidak pernah pergi kemanapun selain sesekali berlibur ke luar kota. Tapi yang jelas, kata itu yang selalu dia pilih untuk menjawab pertanyaan berjenis "pilih satu kata yang paling menggambarkan dirimu". Kata itu pula yang dia gunakan untuk mengisi kolom "About Me" di akun jejaring sosialnya. Tapi maksudnya apa, sungguh aku tidak pernah tahu. Sampai hari ini.
"Aku pengembara yang mencari jalan pulang ke rumah" jelasnya saat aku menanyakan maksud diksi itu. Aku, yang tidak punya setetespun darah sastra yang mengalir di tubuhku, hanya bisa diam mendengarkannya berfilosofi tentang apa yang dia sebut 'rumah', dan tentang keinginan terbesarnya dalam hidup, yakni menemukan 'rumah' itu.
"Kalau kamu, apa keinginan terbesarmu?" tanyanya usai merampungkan penjelasan panjang lebar nan filosofis tentang per'rumah'an. Aku tidak langsung menjawab, melainkan menatap matanya lekat2. Lama. Dia salah tingkah, membuang pandangan sambil membenarkan anak rambut yang jatuh di keningnya.
"Aku mau nemenin kamu mengembara mencari jalan pulang ke rumah" Dia tampak kaget mendengar jawabanku, dan ganti menatapku dengan pandangan ah-masa-sih-yang-bener-kamu.
"Boleh?" tanyaku kemudian.
Yang dijawab dengan anggukan kecil dari wajahnya yang memerah.
***
Pertanyaanku 6 bulan kemudian dia jawab dengan gelengan kepala. Tidak, aku bahkan belum sempat menanyakan apa2. Aku baru membuka kotak kecil yang aku simpan di sakuku sejak seminggu lalu. menunggu waktu yang tepat dan keberanian yang cukup untuk mengeluarkannya.
"Maaf, tapi apapun yang kamu minta kali ini, aku ngga bisa"
"Kenapa?"
"Kamu kan tau, aku ga bisa terikat, aku ini pengemba..."
"AKU TAU!" aku memotong kalimatnya, "Udah ratusan bahkan ribuan kali kamu bilang kamu pengembara bla bla bla nyari jalan pulang bla bla bla...aku tau...tapi sampai kapan? kamu mau nyarinya sampai kapan?"
"Sampai aku nemu..."
"Nemu apa?"
"Rumah..."
Jawaban terakhir itu membuatku enggan mendebatnya lagi. Yang bisa aku tangkap dengan telinga awam ini dari penjelasannya tentang 'rumah' tempo hari adalah, dia mencari tempat, orang, atau keadaan yang bisa membuatnya nyaman, membuatnya merasa 'pulang'. Dan rasanya aku cukup percaya diri menyatakan bahwa aku bisa menjadi semua yang dia cari dalam pengembaraannya. Tapi dari jawaban terakhirnya tadi, aku sadar ternyata aku salah. Entah 'rumah' seperti apa yg dia cari, yang jelas itu bukan aku.
Aku berlalu meninggalkannya. Berharap dia akan mengejar atau memanggil namaku, meminta untuk kembali, mengatakan bahwa dia berubah pikiran.....
Tapi tak satupun dia lakukan.
Pengembara itu tetap duduk diam.
***
Sebulan terakhir aku tidak merasakan apa-apa selain hampa. Kosong. Hitam putih tanpa warna. Selongsong raga tanpa jiwa. Aku kehilangan segalanya. Lelucon-leluconnya, filosofi2 yang selalu sulit kupahami, umpatan-umpatannya tentang apapun yang tidak dia suka, keluh-kesahnya tentang hidup dan pekerjaan. Dan yang lebih penting dari semua itu, aku kehilangan semangat hidupku.
Setelah menimbang beberapa detik, akhirnya aku mengambil ponsel, mencari namanya di daftar kontakku dan mengetik satu kalimat pendek.
Sent.
***
Dua jam setelah mengirim pesan singkat itu aku masih menunggu balasan darinya.
Tidak ada.
***
Pukul 11.11 malam bel rumahku berdering. Aku beranjak dari sofaku dengan enggan, sambil menggerutu tentang orang tidak tau sopan santun yang bertamu selarut ini. Perlahan aku membuka pintu dan terkejut mendapatinya berdiri di depan. Bisa kulihat matanya sedikit sembab.
"Handphoneku tadi mati terus baru dinyalain waktu udah sampe rumah dan udah malem banget terus baru baca sms kamu terus..." dia tidak melanjutkan kata-katanya.
"Kamu nulis apa tadi?" tanyanya setelah terdiam beberapa detik.
"Katanya udah baca.."
"Maunya denger langsung"
Aku menarik nafas sejenak, menatapnya dalam2. "Home, is where the heart is" ujarku sambil tersenyum.
Dia balas tersenyum sambil mengusap airmatanya yang terjatuh, kemudian memelukku dan berkata:
Mungkin kita adalah
sepasang pakaian:
Kamu atasannya,
dan aku bawahannya.
Kamu dijemur di sudut kiri,
aku di sudut kanan.
Kita saling melirik,
tapi belum pernah bertemu.
Tapi sebenarnya kita sepasang.
Tunggu.
Mari kita tunggu
sampai kita berdua
sama-sama kering dari luka lama.
Lalu kita berdua akan bertemu
berbagi suatu hari bersama.
Ya, bagiku sehari itu cukup.
Asal kita berdua saja di hari itu.
Kamu.
Aku.
Dalam satu tubuh.
Saling melengkapi.
Sepasang.
puisi ini saya temukan di tumblr (wajib mampir!) punya @Dear_Connie, salah satu akun twitter yg saya follow
salah satu puisi terMAKDEG yang pernah saya baca :'D
duh, seandainya saya sepandai itu bermain kata2
pasti saya pilih nulis buku dan kemudian resign dari pekerjaan penuh ketidakjelasan ini #curcoldetected
:D
And doesn't that sound familiar? Doesn't that hit too close to home?
Doesn't that make you shiver; the way things could've gone?
And doesn't it feel peculiar when everyone wants a little more?
And so that I do remember to never go that far, Could you leave me with a scar?
sampe sekarang ngga pernah ngerti lagu ini maksudnya apa, but I just love it!